MUNGKID – Masyarakat Desa Wisata Borobudur Kabupaten Magelang menggelar tradisi Saparan ‘Tilik Ari-ari’ atau mengunjungi bekas kampung halaman di pelataran Candi agung Borobudur. Tradisi ini mengajarkan untuk saling berbagi dalam harmoni budaya leluhur.
Tradisi Saparan warga Desa Borobudur ini dilaksanakan setiap setahun sekali di bulan Safar penanggalan Jawa. Kali ini digelar selama tiga hari sejak Jumat (24/9/2021) hingga Sabtu (26/9/2021). Pada hari pertama digelar doa bersama di Kantor Balai Desa setempat.
“Untaian doa ini untuk memohon kepada Sang Khalik, agar kehidupan warga lebih tenteram gemah ripah loh Jinawi, sekaligus mengirim doa untuk para leluhur, termasuk para Kepala Desa Borobudur terdahulu,” kata Kepala Desa Borobudur, Anwar Ujang Maryadi Usman, seusai kirab tumpeng saparan, Sabtu (25/9/2021).
Meliputi 52 RT dan 17 RW, keberadaan desa berpenduduk 9.000 lebih ini menjadi bagian penting dari wisata dan sejarah konservasi Candi Borobudur.
Pada masa pandemi Covid-19, lanjut Anwar, Saparan digelar sesuai protokol kesehatan. Namun tetap mempertahankan nilai budaya lokal seperti kirab tumpeng, ingkung ayam beserta hasil bumi menggunakan dokar atau andong, ke sejumlah titik lokasi bersejarah. Hal itu agar lebih menarik, namun tetap aman dari Covid-19.
Peserta arak-arakan ini dibatasi hanya 30 orang dari jajaran perangkat Desa setempat berbusana Jawa kebaya dan surjan.
Kirab dimulai dari Kantor Balai Desa, menuju Pasar Borobudur dan pelataran candi, untuk berbagi dan melakukan doa bersama.
Di Pasar Borobudur tumpeng dibagikan kepada para pedagang sebagai simbol ekonomi dan ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan.
Kirab tumpeng ini juga menjadi perjalanan religi warga Borobudur, untuk napak tilas bekas lokasi kampung halaman mereka yang kini menjadi zona satu pelataran Candi Borobudur.
“Ikatan sejarah warga dengan Candi Borobudur sangat kuat. Pohon beringin ini merupakan cikal bakal pasar Borobudur sebelum di lokasi sekarang. Dahulu kampung Borobudur ada di bawah Candi Borobdudur sebelum dipindah,” kenang Anwar.
Tumpeng ambeng yang dibawa itu kemudian diarak berjalan kaki mengelilingi Candi Borobudur, dengan langkah sunyi para warga.
Anwar menuturkan, Saparan merupakan tradisi sakral yang digelar setiap tahun, agar warga terhindar dari kemalangan dan petaka.
Sedangkan sebagai puncak dari gelar budaya Merti Desa Borobudur ini adalah pagelaran wayang kulit sebanyak dua kali dengan dalang dan alur cerita berbeda. Pagelaran wayang kulit ini berlangsung hingga menjelang Minggu dini hari (26/9/2021).
“Semoga saja Merti Desa ini menjadi sarana agar nantinya Candi Borobudur dengan segala perubahan yang ada bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat Borobudur, sehat sejahtera, lebih baik dalam ekonomi dan dalam kondisi apapun juga,” harap Anwar. (*/cr1)
Sumber: banten.siberindo.co